BELAJAR DARI KHADIZAH

“Allah tidak menganugerahkan kepadaku seorang istri sebagai pengganti yang lebih baik daripada Khadijah RA. Dia beriman kepadaku ketika orang-orang mengingkari kenabianku; dia membenarkanku ketika orang-orang mendustakan diriku; dia membantuku dengan harta kekayaannya ketika orang lain tidak mau memberiku, dan dari rahimnya Allah menganugerahkan anak-anak bagiku, bukan dari perempuan lain.”
Demikian terjemahan dari Sabda Rasulullah Muhammad SAW yang seringkali didengar oleh para sahabat beliau, termasuk oleh istri beliau sesudahnya, Aisyah, sehingga dia sangat cemburu kepada Khadijah sekalipun sudah almarhum.
Khadijah adalah seorang istri yang penuh dengan sifat keibuan, mampu menjadi pelipur lara di saat sang suami (waktu itu belum menjadi nabi) mengalami kehausan kasih sayang karena sejak kecil sudah yatim-piatu. Beliau istri yang penyabar dan penuh perhatian, sekalipun suami (Muhammad) suka pergiuntuk ber-tahannuts (menyendiri dan merenung) di gua-gua di luar kota Makkah. Beliau sebagai penyejuk dan penenang jiwa, termasuk saat suaminya pulang ke rumah di pagi buta dalam keadaan ketakutan. Tubuhnya gemetar, dengan wajah yang pucat pasi dan terbata-bata menceriterakan kejadian dahsyat yang baru saja dialami.
Di Gua Hira malam itu, Muhammad didatangi seseorang yang belum pernah dikenalnya, yang ternyata malaikat Jibril. Melalui Jibril, beliau menerima lima ayat dari surat Al-’Alaq, yang terjemahnya, “Bacalah (hai Muhammad) dengan nama Tuhanmu yang telah menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari sesuatu yang menggantung. Bacalah, dan Tuhanmu yang Paling Mulia yang telah mengajari dengan pena. Mengajari manusia, apa saja yang tidak diketahuinya.”
Ketakutan dan kegelisahan suami seketika lenyap di saat Khadijah merangkul dan mendekap ke dada beliau dengan sikap lembut dan dengan kata-kata yang menghibur, sehingga tenanglah hati Muhammad sampai tertidur di sampingnya.
Di saat itulah, Khadijah diam-diam mengunjungi saudaranya yang bernama Waraqah bin Naufal, dan menceriterakan kejadian yang telah dialami suami, dan beliau memperoleh kepastian bahwa Muhammad telah dipilih oleh Allah menjadi Nabi!
Rasa syukur bercampur kagum dan cinta, ingin sekali beliau menyampaikan perasaan itu secepatnya kepada suami. Maka di saat sang suami menyatakan bahwa dirinya diperintahkan untuk mengajak manusia menyembah hanya kepada Allah, dan ‘’siapakah kiranya orang yang mau kuajak?”, Khadijah segera menjawab dengan mantap penuh keyakinan, ”Aku yang menyambut ajakanmu wahai Muhammad! Ajaklah aku sebelum mengajak orang lain, aku mengaku Islam, membenarkan kerasulanmu dan mengimani Tuhanmu.”
Tidak hanya sebagai mukmin-mukminah pertama, Khadijah juga merelakan seberapa pun harta bendanya dipergunakan untuk membiayai dakwah yang penuh hambatan. Beliau yang terkenal sebagai pengusaha ekspor-impor yang disegani kala itu, kaya raya, dan bangsawan, sama sekali tak keberatan ketika harus meninggalkan kemegahannya untuk hidup mengungsi ke Syi’ib Abu Thalib yang sangat sederhana, demi menyelamatkan agama barunya dari amukan kaum Quraisy.
Siksaan dan penindasan dari kafir (Quraisy) yang menabuh genderang perang, bertahun-tahun beliau alami bersama keluarga, namun ketabahan dan kesetiaan beliau kepada suami dan perjuangannya tetap mengagumkan setiap orang. Belum lagi lelabuh beliau dalam melahirkan dan mendidik enam putra-putri Rasulullah Muhammad SAW yang sangat dicintai, yakni Qasim, Abdullah (keduanya meninggal di saat kecil), Zaynab, Ruqayyah, Ummu Kaltsum, dan Fathimah.
Seperempat abad Khadijah membuktikan dirinya sebagai istri shalihah. Oleh karenanya secara jujur Rasulullah mengakui, keberadaannya tak pernah tergantikan! Jiwanya tetap hidup meski jasadnya telah wafat, bayangannya tetap menyertai sepanjang kehidupan Rasulullah. Hal itu terlihat, setiap beliau bercerita atau mendengar nama Khadijah disebut, wajah beliau langsung berbinar-binar bahagia. Cinta kasih beliau kepada Khadijah menjadikan beliau tak pernah menduakannya.
Keteladanan seorang ummul mukminin yang akan tetap abadi sepanjang sejarah hidup umat Islam di dunia. Seorang istri yang siap hidup bersama suami dalam suka dan dukanya, dalam sehat dan sakitnya, dalam penindasan dan pengagungannya. Istri yang siap menjadi bemper bagi perjuangan suci sang suami, tanpa rasa takut akan risiko besar yang harus dihadapinya. Istri yang senantiasa memiliki semangat untuk menyinkronkan setiap langkah positif suaminya (bukan hanya sebatas mendukung), sehingga upaya seiring-sejalan dalam mengarungi hidup lebih mudah dilakukan, sekalipun pada dasarnyamemiliki perbedaan-perbedaan yang sangat jelas.
Sumber: Kota Santri

[+/-] Selengkapnya...

C3RP3N........



TUHANKU TIDAK PENGUTUK


Senja yang damai. Angin semilir di awal musim kemarau, di bulan Juni. Senja berangsur surut menjemput sang malam menyelimuti bumi. Semburan sinar matahari berwarna lembayung keemasan menambah senja itu semakin damai, suci, dan teramat indah untuk dilukiskan dengan kata-kata. Namun, sayang senja yang damai itu tidak membuat damai hati seorang anak manusia yang sedang duduk termenung di beranda rumah. Elias. Begitu anak manusia itu diberi nama. Sebuah nama yang suci dari tokoh Kitab Suci Perjanjian Lama; Nabi Elias. Nama itu diberikan oleh ayahnya yang telah lama pergi. “Semoga kelak kamu menjadi seperti nabi Elias yang suci dan bijaksana”, begitu doa sang ayah. Dulu sekali, waktu Elias masih kecil.
Dia masih duduk membisu menembusi ruang dan waktu, melintasi saat dan berbagai peristiwa. Hatinya sedang gundah., berperang melawan dirinya yang lain. Peperangan yang melelahkan jiwa. Antara harapan meraih bahagian dalam hidup, dan ketakutan akan kutukan dan musibah yang akan mengancam hidupnya. Elias masih diam dan sunyi sepi. Situasi yang sangat ditakutinya sejak kecil. Seandainya Elias bisa membunuh gundah di hati dan berlari meninggalkan pergulatan jiwa pasti dia sudah melakukannya tanpa meminta persetujuan dari siapa pun juga. Tetapi dia masih saja diam.
Tatapannya kosong menembusi daun-daun bunga yang menghiasi meja tamu itu. Angannya jauh melayang menyambut berjuta derita. Elias tidak berdaya. Kalah oleh rasa takutnya sendiri yang terbangunkan oleh ocehan-ocehan nakal mulut manusia.
“Hai, maaf Mas! membuatmu menunggu lama”, suara halus dan lembut membangunkan Elias dari kesunyian yang menegangkan. Suara yang sudah dua tahun memberikan ketenangan jiwa di kala tertekan oleh berbagai tugas-tugas di kantor.
“Eh, buat aku kaget saja. Udah selesai mandinya?”
“Udah. Mas melamun ya! Lamunin siapa ayo? Hati-hati lho Mas, kata orang tidak baik melamun di senja seindah ini, apalagi di beranda rumah, entar keinginanya tidak terkabul”
“Ah, bisa-bisanya nakut-nakutin aku!”, jawab Elias ringkas mencoba setenang mungkin walau sesungguhnya ia takut kebenaran kata-kata kekasihnya itu.
“Oh, bentar ya mas. Aku ambilin minuman dulu”. Wanita tambatan hati berlalu meninggalkannya. Sunyi kembali datang meneror Elias. Jujur, kesepian hal yang paling dibenci Elias. Kembali bayang-bayang suram melintas dibenaknya. Percakapan ibu-ibu di gereja hari minggu kemarin yang terekam di otak Elias hadir tanpa diundang.
“Tahu gak ibu Marta, itu lho, ibu Agnes, kemarin keguguran lagi. Kasihan ya, ini yang kedua kalinya”
“Iya, saya tahu kok. Kata orang-orang, itu adalah kutukan dari Tuhan”
“Kutukan bagaima?”
“Ibukan tahu, suaminya dulu ‘kan mantan pastor. Katanya, orang-orang yang keluar dari biara pasti mendapat kutukan dari Tuhan. Tidak hanya ibu Agnes, ibu Lusi yang suaminya mantan frater juga mengalami musibah yang sama. Anaknya lahir cacat. Ibu Agatha yang mantan suster itu, belum punya anak sampai sekarang”
“Kasihan ya Bu! Tapi apa benar itu kutukan dari Tuhan!”
Merinding bulu kuduk Elias mengingat percakapan-percakapan itu. Perasaanya semakin tidak enak. Apakah benar itu sebuah kutukan dari Tuhan karena mereka meninggalkan biara. Seakan Elias tidak percaya, namun serentak pula menambah ketakutan dalam dirinya.
“Mari Mas ini minumnya”. Suara lembut nan tenang itu kembali memergoki Elias dalam takut dan bimbang.
“Iya kan, Mas Elias melamun lagi. Lamunin apa tho?”
“Oh… tidakl. Saya sedang memikirkan ibu dan adik, apa udah nyampe di Jakarta”. Elias berusaha menyembunyikan rapat-rapat kegamangan hatinya mengenai rencana melamar wanita yang sedang duduk manis di hadapannya.
“Oh iya Mas! Jadi ‘kan keluarga Mas Elias datang ke rumah bertemu orangtuaku?”
“Jelas jadi dong!” Elias berusaha tersenyum. Padahal hatinya semakin bimbang karena pertanyaan itu. Elias berdoa semoga Wina kekasihnya tidak pernah tahu akan kebimbangan hatinya.
***
Rabu, di pertengahan Juni. Sengatan matahari membuat udara Yogyakarta semakin gerah. Ibu Elias bersama kakak dan adiknya baru saja tiba di rumah. Kehadiran wanita yang telah melahirkannya ke dunia ini, serta saudara sekandung yang menjadi teman bermain sekaligus berkelahi mengisi masa-masa kecil, juga tidak mengusir rasa takut Elias. Kehadiran mereka malah menambah ketakutan Elias. Kutukan-kutukan yang menghantui pikiran Elias seakan semakin dekat di depan mata Elias. Seolah tidak ada lagi benteng yang bisa menjadi tempat berlindung dari kutukan-kutukan itu.
Sepanjang hari Elias gelisah tidak menentu. Tidak seperti hari-hari sebelumnya Elias selalu tersenyum menyambut setiap hari baru dalam hidupnya. Hari ini seharusnya hari bahagia dalam hidup Elias. Besok acara lamarannya untuk Wina akan dilaksanakan. Namun, Elias semakin ketakutan dan gemetar. Setiap detik semakin berharga baginya tetapi sekaligus setiap detik adalah waktu yang menakutkan. Hentakan jarum jam seakan menghantar Elias menuju api neraka penyiksaan. “Kenapa ini harus kualami. Apakah ini cobaan dari-Mu Tuhan!”, Elias berucap pelan, bibirnya bergetar. Elias masih duduk merenung di teras rumah. Rumah yang sangat indah, yang dia beli dari hasil jerih payah selama bekerja sebagai wartawan dan penulis buku.
“Lagi ngapain anak ibu. Malam-malam kok melamun”. Suara yang akrab di telinga Elias, suara yang meninabobokkannya waktu kecil, suara yang membangunkannya dari tidur yang panjang, membangunkan Elias dari lamunannya.
“Oh, Ibu! kok belum tidur!”
“Kamu sendiri kok belum tidur! Lagi memikirkan apa?” wanita setengah baya itu duduk menghampiri Elias. “Lagi mikirin apa kamu? Apa kamu lagi memikirkan acara lamaran besok?”. Mendapat pertanyaan seperti itu kontan Elias terkaget.
“Ah, ti…ti…tidak bu!” Elias tergugup dalam ketakutan dan bimbang.
“Ibu tahu, nak Eli lagi gelisah, iya kan! Ibu mengenal kamu lebih daripada siapun di dunia ini”
“Masa iya Bu!”
“Kamu tidak bisa membohongi ibu. Pancaran matamu memberitahuikan segalanya kepada ibu. Detak jantungmu berucap lebih banyak lagi dari apa yang kamu sembunyikan. Kamu ragu tentang rencana pernikahanmu dengan Wina kan?” Sejenak Elias terbius oleh ucapan ibunya.
“Iya Bu, saya ragu untuk menikahi Wina. Saya tidak tahu, kenapa menjelang acara lamaran aku malah bimbang dan takut bu. Tidak pernah aku segugup ini”
“Pasti kamu termakan oleh cerita-cerita orang tentang dirimu, seorang mantan frater dan Wina mantan suster, iya kan?”. Elias diam membisu mengiyakan segala ucapan ibunya.“
“Elias anakku. Malam ini, ibu juga mau bercerita satu hal kepadamu. Sebuah rahasia hidupku dan hidup ayahmu. Maaf, ibu baru bisa menceritakan ini padamu malam ini”. Sejenak wanita yang rambutnya mulai memutih menarik nafas. Kemudian melanjutkan ceritanya.
“Perlu kamu ketahui Nak, ayahmu dulu juga seorang frater. Ayahmu akhirnya harus meninggalkan biara karena penyakit yang ia derita. Kemuadian ayahmu bertemu dengan ibu lalu menikah. Dan lahirlah kalian. Sebelum kalian menjadi dewasa ayah dipanggil oleh Yang Kuasa karena sakit yang sudah lama menggerogoti tubuhnya” diaturnya nafasnya. Tatapanya menerawang kegelapan. Bisu memenuhi tempat itu. Sekilas terbayang raut wajah suaminya di tengah kegelapan.
“Satu lagi yang perlu kamu ketahui Nak. Ibu juga dulu seorang suster. Ibu harus meniggalkan biara karena orang tua ibu meninggal dunia. Sebagi anak tertua ibu merasa bertanggungjawab terhadap adek-adek ibu” Sejenak wanita yang sudah kaya dengan garam dunia itu menghela nafas. “Nah, sekarang kamu sudah mengerti semua tentang keluarga kita. Apakah Tuhan mengutuk keluarga kita? Kamu yang menilai. Kamu yang menentukan jalan hidupmu. Yang pasti, Tuhan memilih umatnya pada jalannya masing-masing. Tuhan tidak pernah mencobai umatnya melebihi kekutan yang Ia berikan kepada kita. Tuhan tidak pernah mengutuk. Ingat nak, Tuhan itu Maha Penyayang. Serahkanlah segala hidupmu padaNya. Nah, sekarang sudah larut malam, tidurlah yang nyenyak”
“Terimakasih Bu. Aku sayang ibu”. Sebelum beranjak pergi Elias mengecup kening ibunya. Sebuah simbol kasih dan rasa terimakasih. Cerita ibunya memberikan penyejuk jiwa.
***
Pagi yang indah. Kicauan burung membangunkan Elias dari tidur lelap yang damai. Elias kembali menemukan dirinya. “Selamat pagi Tuhan, terimakasih atas hari baru, atas hidup baru. Terimakasih atas kehadiran orang-orang yang Kau utus untuk mencintai diriku. Hari ini akan kuwartakan kasihMu. Akan kucintai Wina, wanita yang Kuutus kepadaku, dengan sepenuh hatiku. Akan kulamar dia menjadi istriku. Akan kunikahi dia, akan kujadikan dia menjadi striku dan ibu dari anak-anakku” Doa Elias dalam hatinya.



By.Donal

[+/-] Selengkapnya...

 

Text

Followers